Apakah ada tuntunan Al Qur’an dan Al
Hadits yang membimbing manusia untuk mengatur keuangannya. Tentu saja
ada. Bahkan berdasarkan hukum syariat, agar upaya kita dinilai ibadah
(nyunah atau mengikuti petunjuk Allah Ta’ala dan RasulNYA), harus
mengikuti nash-nash yang telah ada. Bagi seorang mulim mengikuti
petunjuk Allah Ta’ala dan RasulNYA bukan hanya sebagai panduan hidup,
namun meyakini bernilai pahala. Dibandingkan hanya mengikuti petunjuk
tanpa dasar yang jelas, walaupun tingkat keberhasilannya sama.
Islam tidak membenci harta, namun mewaspadai keburukan perilaku manusi terhadap harta, seperti firman Allah Ta’ala dalam surat Al Isra ayat 26-27, “
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithan dan syaithan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Diperkuat dengan surat Al Furqon ayat 67,”
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
Penegasan ini mensiratkan bahwa seorang muslim harus pandai mengelola uang (harta) atau cerdas finansial. Dengan demikian secara tegas dapat dikatakan Islam sebagai penggerak perencanaan keuangan.
Mengapa? Al Qur’an diturunkan 14 abad yang lalu, dan sudah menegaskan pentingnya merencanakan keuangan agar bisa membelanjakan ditengah-tengah antara keduanya (tidak berlebihan/ boros dan kikir).
Mengapa Islam memberikan perhatian utama pada harta (ekonomi)? Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits hasan dan sahih yang bersumber dari Ka’ab ibnul ‘Iyadh r.a, bahwa
Rasulullah S.A.W. bersabda; “
Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah. Dan fitnah umatku adalah harta.” Hal ini tentunya sejalan dengan firman Allah dalam Al Qur’an Firman Allah Ta’ala dalam surat ke-8 (Al Anfal) ayat 28 dan At Taghaabun ayat 15. Surat Al Baqarah ayat 155 lebih menegaskan lagi,
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Islam tidak membenci harta, namun mewaspadai keburukan perilaku manusi terhadap harta, seperti firman Allah Ta’ala dalam surat Al Isra ayat 26-27, “
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithan dan syaithan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Diperkuat dengan surat Al Furqon ayat 67,”
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
Penegasan ini mensiratkan bahwa seorang muslim harus pandai mengelola uang (harta) atau cerdas finansial. Dengan demikian secara tegas dapat dikatakan Islam sebagai penggerak perencanaan keuangan.
Mengapa? Al Qur’an diturunkan 14 abad yang lalu, dan sudah menegaskan pentingnya merencanakan keuangan agar bisa membelanjakan ditengah-tengah antara keduanya (tidak berlebihan/ boros dan kikir).
Mengapa Islam memberikan perhatian utama pada harta (ekonomi)? Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits hasan dan sahih yang bersumber dari Ka’ab ibnul ‘Iyadh r.a, bahwa
Rasulullah S.A.W. bersabda; “
Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah. Dan fitnah umatku adalah harta.” Hal ini tentunya sejalan dengan firman Allah dalam Al Qur’an Firman Allah Ta’ala dalam surat ke-8 (Al Anfal) ayat 28 dan At Taghaabun ayat 15. Surat Al Baqarah ayat 155 lebih menegaskan lagi,
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Al
Qur’an telah memberikan peringatan yang tegas tentang harta, dan
Rasulullah memberikan kiat praktisnya dalam hadits-hadits shahih,
seperti Sahih Muslim No2984, riwayat Abu Dawud dan Nasa’i dan dinilai
shahih oleh Ibnu Hibban dan Hakim.
Apakah
setiap pendapatan harus terdistribusi pada 3 pos secara merata?
Bagaimana jika penghasilan tidak ideal jika dibagikan secara merata 3
sepertiga. “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah:” Yang lebih dari keperluan (cukup).
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (QS. al-Baqarah (2) : 219)
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (QS. al-Baqarah (2) : 219)
Berkenaan
dengan tafsir ayat 219 ini, ibnu katsir menyatakan; telah di riwayatkan
bahwa Mu ‘adz bin Jabal dan Tsa’ labah r.a. mempunyai banyak budak dan
keluarganya yang kesemuanya itu merupakan harta kami maka bagaimana
untuk mendermakan harta itu?
Maka Allah menurunkan jawabanya:
”Katakanlah yang lebih dari keperluan”. Al’Afwa dalam ayat ini berarti Al Fadhla yakni kelebihan (sisa dari yang diperlukan). Al Afwa juga bisa berarti Al yasir yakni yang ringan dan tidak memberatkan.
Maka Allah menurunkan jawabanya:
”Katakanlah yang lebih dari keperluan”. Al’Afwa dalam ayat ini berarti Al Fadhla yakni kelebihan (sisa dari yang diperlukan). Al Afwa juga bisa berarti Al yasir yakni yang ringan dan tidak memberatkan.
Nafkah
yang dimaksudkan adalah yang disedekahkan. Jika melihat keterangan
tersebut jelas kecukupan menjadi standar awal. Darimana mengukurnya?
Standar biaya konsumsi (makanan pokok) dan modal kerja atau setara 2/3
nya, karena hanya 1/3 bagian saja yang disedekahkan.
Artinya, pembagian pendapatan bisa 2 versi;
Artinya, pembagian pendapatan bisa 2 versi;
1.
Berdasarkan distribusi pendapatan ( dibagi dalam 3 pos besar), misalnya
pendapatan 2,5 juta, maka masing-masing dibagi untuk konsumsi, modal
kerja, dan sedekah (nafkah diluar tanggungan/ keluarga inti; istri dan
anak)
2.
Berdasarkan kebutuhan (standar gaya hidup), misalnya Anda menetapkan
standar biaya hidup 1,75 juta (modal kerja dan konsumsi), maka
pendapatan idealnya 1,75 juta dibagi 2/3 (setara 70%) atau sama dengan
2,5 juta. Ketika pendapatan lebih dari 1,75 juta kewajiban berikutnya
adalah bersedekah.
Intinya,
seharusnya pendapatan berbanding lurus dengan kesalehan sosial
(sedekah), jadi semakin tinggi (naik) pendapatan seseorang idealnya
semakin besar juga tanggung jawab sosial yang diambilnya (disedekahi),
tidak habis begitusaja dikonsumsi untuk pribadinya atau keluarga
intinya. Inilah makna tidak boros dan menunaikan hak-hak keluarga dekat,
orang miskin, ibnu sabil, dsb.
Life Style Financial (LSF) Check Up! Dengan Metode 3 Sepertiga
Dari
‘Amr bin ‘Auf bin Zaid al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menghidupkan
satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka
dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang
mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“ HR
Ibnu Majah (no. 209)
Dengan semangat mengamalkan hadits tersebut, saya membuat slogan Perencanaan Keuangannya Lebih Nyunah (sesuai syariat Al Qur’an & Hadits). Diharapkan slogan tersebut menjadi jawaban bagi permasalahan keuangan pribadi juga sekaligus bagian dari ladang amal, sesuai anjuran yang difirman Allah Ta`ala dalam QS Al Furqan ayat 67,
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian.”
Dalam metode “Merencanakan Keuangan ala Islam” dengan cara Life Style Financial (LSF) Check Up! Pendapatan dikelola dengan metode 3 (tiga) sepertiga, sesuai sunnah. Tentunya selain membantu mengatur keuangan juga berpahala karena mengamalkannya.
Life
Style Financial (LSF) Check Up! adalah metode perencanaan keuangan
syariah yang lebih nyunah (sesuai syariat Al Qur’an & Hadits
Metode tersebut mengambil rujukan dari Kitab Sahih Imam Muslim; Zuhud & Kelembutan Hati, Bab Sedekah terhadap orang-orang miskin, yang juga dikutip dalam kitab Riyadushalihin Bab 60 tentang Zuhud dan Kedermawanan oleh Imam Nawawi.
Metode tersebut mengambil rujukan dari Kitab Sahih Imam Muslim; Zuhud & Kelembutan Hati, Bab Sedekah terhadap orang-orang miskin, yang juga dikutip dalam kitab Riyadushalihin Bab 60 tentang Zuhud dan Kedermawanan oleh Imam Nawawi.
Merencanakan
keuangan (harta), menjadi sangat penting sebagai aspek utama dalam
kehidupan ini, Imam Fakhruddin ar-Razy rahimahullah berkata, “Harta
(al-maalu) disebut harta (maal) karena setiap orang banyak condong dan
cenderung kepadanya. Cenderung dalam bahasa arabnya adalah mailun, berasal
kata: Maala, Yamiilu, maa’ilun, dan maalun.
Karena itulah secara tabiat harta disukai manusia. Penyebabnya adalah kesempurnaan, harta merupakan sebab menggapai penyempurnaan kemampuan hak manusia. Banyak harta akan mendatangkan kekuatan dan kesempurnaan kemampuan manusia. Bertambahnya harta mengakibatkan bertambahnya akan semakin bertambahnya kemampuan seorang manusia.”
Karena itulah secara tabiat harta disukai manusia. Penyebabnya adalah kesempurnaan, harta merupakan sebab menggapai penyempurnaan kemampuan hak manusia. Banyak harta akan mendatangkan kekuatan dan kesempurnaan kemampuan manusia. Bertambahnya harta mengakibatkan bertambahnya akan semakin bertambahnya kemampuan seorang manusia.”
Untuk
itulah, tata kelola harta ini menjadi perhatian terbesar manusia, bukan
saja mengatasi kesempitan, namun juga dapat mendapatkan apa yang
diharapkan dari harta tersebut, terlebih sebagai seorang muslim
diharapkan menjadi sebuah amal kebaikan dengan mengikuti tuntunan Al
Qur’an & Hadits sebagai rujukan utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar